KUYANG #12

Kategori : Serial Fiksi Misteri

Episode : #12 Balian/Wadian

Penulis : Ersa Anindra

Nenek Ilay memperhatikan kegiatan yang akan dilakukan warga yang ada di dusun itu, para keluarga orang-orang yang sakit menyediakan sepotong kayu yang diukir menyerupai manusia, ada juga berbentuk Naga dan Ular terbuat dari kayu Plantan yang ringan. ”Wah! Ramai sekali yang hadir”seru tambi Antang. Kepala kampung tersenyum, “Hari ini memang istimewa, balian kami mengundang beberapa wadian dari luar dusun ini”

“Oh! Benarkah? Wadian? Apa itu? Aku jadi semakin tertarik untuk menyaksikannya.”kata tambi Antang dengan mantap. Ia melirik nenek Ilay yang masih sibuk bertanya dan memperhatikan sesaji yang ditaruh ditengah balai. “Wadian berarti basir, pemimpin ritual keagamaan, dukun dan tabib. Wadian juga berarti proses pekerjaan ritual Wadian. Dan wadian juga berarti tarian  magis untuk tujuan pengobatan atau kematian.”

“Berarti sama saja dengan balian ya?”tanya tambi Antang, kepala kampung mengangguk, “Benar, tiap daerah punya panggilan yang berbeda.”sahutnya.

Ternyata yang diundang untuk melakukan acara manyanggar sekaligus pengobatan kali ini adalah Wadian Suku Dayak Ma’anyan, Dusun dan Lawangan, dan yang  datang juga ada beberapa orang sesuai dengan tugasnya masing-masing, kepala kampung mengajak tambi Adang berkeliling.

“Nah itu yang sudah pemuda di sebelah sana, adalah Wadian Amunrahu, sebab pekerjaannya khusus dilakukan untuk pengobatan orang sakit dari kampung yang berbeda. Tiga orang wanita muda disebelahnya itu disebut Wadian Dadas, yaitu pekerjaan wadian juga melakukan untuk pengobatan orang sakit. Bedanya, ini dilakukan oleh Wadian Perempuan, juga dikenal sebagai Wadian Dusun, bahkan dipandang juga sebagai Wadian Hakei (Balian Islam).”jelas ketua kampung.

Kepala kampung mengajak tambi Antang berkenalan dengan mereka, “Apa mereka tidak sekolah? maksudku kuliah? Melihat fisiknya saja masih sangat muda kurasa.”tanya tambi Antang menyayangkan. Kepala kampung tertawa terbahak, “Tanyakan sajalah, biar lebih pasti.”, kata kepala kampung tersenyum simpul.

Beberapa warga yang terdiri dari gadis-gadis penari wadian dadas nampak daritadi yang merubung para wadian yang datang. Rupanya mereka saling mengenal. Seperti halnya juga terjadi didaerah lain semua anak muda dikampung ini saja jauh-jauh  pergi menimba ilmu bersekolah dan kuliah ke kota, ternyata sebagian dari wadian itu adalah mahasiswa yang memang dengan sukarela menjadi pewaris ilmu pengobatan turun temurun keluarga mereka.

Suku Dayak dikenal dengan “mistiknya” tetapi tidak ada satupun di dalam ilmu-ilmu mistik asli dayak yang digunakan untuk “ngalap berkah” atau didapatkan dengan mudah. Semua tidak didapat dengan jalan pintas tapi semua adalah hasil kerja keras. Dan hasilnya untuk membantu sesama yang memerlukan.

“Sejak kapan kalian tertarik untuk menjadi wadian?”tanya tambi Antang penasaran. “Dari kecil kami sudah sering diajak orangtua berkeliling mengobati orang yang sakit, baik sakit biasa ataupun kena guna-guna, seperti kata pepatah, Mbi. Alah bisa karena biasa”sahut salah seorang dari mereka.

“Bukannya kalian sudah memasuki peradaban modern, paling tidak ada pengaruhnya seperti ponsel, internet dan media informasi lainnya. Seperti tv misalnya. Ehh… aku tak melihat ada yang memilikinya disini.”kata tambi Antang baru sadar. “Kalau di kota, ya kami beradaptasi saja, Mbi. Mengalir seperti air.”jawab seorang perempuan muda yang membersihkan gelang Hiyang miliknya.

“Tidak perlu, Mbi. Biarlah kampung ini murni seperti adanya.”timpal kepala kampung. “Mereka bisa mencari ilmu dan mengembangkan kemampuannya diluar sana, bukan berarti mereka lupa dengan daerah asal mereka.”

“Lalu yang sana itu wadian juga?”tanya tambi Antang sambil menunjuk tiga orang pemuda yang mengawasi warga yang mengatur tata letak sesaji ditengah balai. “Benar, mereka punya keahlian masing-masing, ada Wadian Bawo, yaitu melakukan pengobatan orang sakit yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan bertujuan. Disebelahnya, Wadian Matei, yaitu wadian khusus yang hanya melakukan untuk upacara kematian.”

Di tengah balai disediakan tempat berbentuk lingkaran yang bernama langgatan (tempat meletakkan peralatan upacara) disini diletakkan patung sebagai lambang dewa-dewa yang dipuja, yang diberi nama Langgatan yang dihiasi pula dengan anyaman pucuk enau, didalamnya diletakkan bakul dengan bermacam motif dan bentuk. Motif dan bentuk bakul ini ada yang dinamakan pipit mandi, mayang merekah, naga maulit (melingkar) dan sebagainya. Isi bakul merupakan sesajian bagi dewa-dewa berupa beras, kue lemang, ayam, dan lain-lain sesuai keinginan Balian.

“Mirip kanjat milikku”kekeh tambi Antang menunjuk salah satu tas rotan yang terkumpul ditengah balai. “Aku juga punya kalau yang seperti itu, kenapa kau malah sibuk memperhatikan sesaji, Adang? Bukannya kita sedang menunggu balian yang kita harap bisa membantu kita.”tegur nenek Ilay mengingatkan. “Kau memang tak bisa melihat orang senang sedikit saja langsung ribut”keluh tambi Antang.

Nenek Ilay dan tambi Antang ikut duduk bersimpuh di dalam balai pada saat acara puncak, para balian menggelar ritual mambuntang dengan tarian diiringi bunyi gemerincing gelang yang dikenakan balian. Nenek Ilay memperhatikan gerakan tarian seorang balian yang tengah mengitari sesaji.

Tiga orang balian tersebut terlihat sangat muda, kepala mereka memakai laung, sebuah ikat kepala dari kain dan dililit dengan sehelai janur kuning. Ada daun sawang yang diselipkan dipinggang, konon daun tersebut sangat ampuh mengusir roh halus yang mengganggu manusia. Mereka bertiga memakai aksesori kalung dari taring beruang dan kuku beruang. Kedua lengannya ditandai ‘+’ dengan kapur (cacak burung) dibawahnya ada tiga garis melingkar mengelilingi lengan.

“Wah, besar sekali gelangnya, liat tuh otot lengan mereka sampai keluar semua..”bisik nenek Ilay kepada tambi Antang. Lama-lama ia kesemutan kemudian mengganti posisinya dengan bersila. “Gelang balian itu disebut juga dengan gelang Hiyang atau gelang dewa, itu wajib dipakai sebab apabila dibunyikan, dipercaya dapat memanggil roh-roh.”balas tambi Antang berbisik.

Selama melakukan balian, gendang dibunyikan dan gelang hiyang dihentakan. Gelang Hiyang terbuat dari gangsa dan jumlah yang dipakai oleh seorang Balian menunjukkan kesaktiannya. Balian tingkat tertinggi memakai tiga gelang hiyang. Itu yang saat ini sedang diincar oleh tambi Antang sedari tadi.

Kerja Balian dalam mengobati ini disebut manatamba atau batutulung. Dalam upacara batutulung orang yang sakit diletakkan membujur, dan selama siang malam sang Balian batandik (menari setengah loncat) mengeliling orang sakit sampai akhirnya sembuh.

“Apa tidak terlalu muda balian yang di depan itu, jangan-jangan palsu”sikut Nenek Ilay sambil memperhatikan gerakan ritmis milik balian. Tambi Antang mendelik sewot. “Kau lihat gelangnya, jangan lihat orangnya, Ilay.”kesalnya, menunjuk gelang yang dipakai oleh pemuda itu

Gelang ini terbuat dari bahan gangsa (perunggu), bentuknya bulat melingkar mirip seperti bentuk kue donat dan cukup berat. Gelang yang dipasang dipergelangan tangan masing-masing berpasangan dua atau lebih, sehingga apabila tangan dihentakkan atau digoyang maka akan terjadi benturan antara gelang-gelang tersebut dan menghasilkan suara yang sangat nyaring.

Balian adalah dukun atau tabib suku Dayak, dalam upacara pengobatan biasanya Balian menarikan tarian pengobatan untuk memanggil roh dewa dan leluhur. Bunyi benturan dari gelang tersebut mengikuti hentakan irama musik pengiring tarian, dengan kata lain para Balian menari sambil membunyikan gelang-gelang di pergelangan tangan mereka. Membunyikan gelang-gelang sekaligus menari memiliki tingkat kesulitan tersendiri, sebab terkadang bunyi gelang lebih rapat dan cepat. Gelang ini dapat digunakan oleh dukun balian laki-laki maupun perempuan.

“Memangnya kenapa dengan gelang itu, yang aku tahu sama semua tak ada bedanya. Warnanya juga sama, pakaian mereka lebih banyak didominasi dengan warna kuning, merah dan hitam, lalu dimana bedanya?”tanya nenek Ilay kebingungan. Tambi Antang tertunduk menahan sebal, ia pikir nenek Ilay pernah mengikuti ritual seperti itu. “Sudah peot, katro pula kau, Ilay”geramnya dalam hati.

“Aku lihat kau seperti maling, matamu liar mencari-cari seseorang. Heheheh, cari brondong yaa?!! Sadarlah Adang, kau dan aku apa bedanya, sudah bau tanah”bisiknya usil. Duk!!! sebuah sikutan telak bersarang di ulu hatinya. Nenek Ilay sampai megap-megap mencari udara segar untuk bernafas.

“Setan kau, Adang. Untung saja sedang ditengah keramaian. Kalau tidak kujejalkan gelang balian itu ke mulutmu yang lebar itu dan kupaksa kau mengunyah donat perunggu itu biar rontok gigimu sekalian.”desisnya menahan sakit.

Nyuuut!!! Kulit perut tambi Antang terasa dijepit sesuatu, Tambi Antang nyaris menjerit, mulutnya yang ternganga lebar segera terkatup, ia meringis menahan sakit dicubit oleh nenek Ilay. “ Dasar bego!!! Tak kau lihat gelang mereka hanya dua, sedangkan seorang balian sakti itu menggunakan tiga gelang Hiyang, Ilay. Tapi yang mana coba? Letih mataku mencarinya, bahkan hampir juling. Apalagi lautan manusia ini semakin lama semakin memadati tampat ini.”gumamnya menggosok-gosok perutnya yang lebam membiru.

Nenek Ilay tak jadi gusar, dan ia ikut mencari-cari orang yang dimaksudkan oleh tambi Antang. “Memangnya harus sekarang mencarinya? Kenapa tidak setelah selesai acara ini saja?”tanya nenek Ilay. “Dengar Ilay, acara pengobatan ini paling cepat selesai tiga hari. Kau bayangkan, mereka menari selama tiga hari terus menerus”bisik tambi Antang. “Memangnya kau sanggup memaku pantat teposmu itu selama tiga hari tanpa bergerak menunggu giliran, eh??!!”tanya tambi Antang masih dongkol.

“Ya sudah, sebelum dia mulai mengobati juga, ayo kita cari, tapi bagaimana kita mau lewat sekarang jika manusia dibelakang kita berjejal begini, Adang?”kata Nenek Ilay mulai beringsut mundur pelan-pelan. Lumayan makan waktu melewati warga yang berhimpit-himpitan.

Begitu mereka keluar, ada seorang lelaki yang sudah berumur dengan pakaian balian dan menggunakan tiga gelang Hiyang menghampiri mereka. “Kalian mencariku?”tanyanya. Keduanya mengangguk senang. “Semalam aku dititipi pesan saat balampah (semedi khusus) semalam, jadi sudah sewajarnya aku sampaikan”katanya membawa keduanya menjauhi kerumunan.

*****

“Apa isi pesan yang disampaikan tersebut?”tanya tambi Antang menjajari langkah si balian. Nenek Ilay hanya diam saja, ia ingin mendengarkan dengan seksama. “Kita ke rumah betang milik ketua kampung saja, sebab teman-temanku yang akan menyampaikannya sudah menunggu disana”jawabnya.

Begitu mereka sampai di depan rumah panggung, dua orang teman si balian sudah menunggu didepan tangga dengan wajah tegang, “Sebaliknya kalian pulang, malam ini kami akan mengantar kalian sampai rumah masing-masing. Dan kalian ingat baik-baik apa saja yang kami katakan sepanjang perjalanan nanti. Jangan menoleh kebelakang atau tambi berdua akan disesatkan oleh hantuen jahil yang berada disekitar lorong nanti”pesan keduanya mengawal mereka.

“Kami pamit dulu pada ketua kampung, terima kasih balian, telah menolong kami”ucap nenek Ilay kepada si balian. “Mungkin kepala kampung sudah berada di dalam balai, tolong sampaikan rasa terimakasih kami”potong tambi Antang menambahkan.

“Tenang saja beliau duduk disampingku sekarang…”,  kata balian itu kemudian raib seperti ditiup angin, tambi Antang penasaran. Ia menaiki tangga rumah betang agar bisa melihat ketengah keramaian, benar saja balian itu duduk bersila bersebelahan dengan kepala kampung. Ia sempat menoleh dan mengangguk hormat kearah tambi Antang. Mau tak mau tambi Antang pun takjub, “Kereeeeeeen….”kagumnya menggeleng. “Dasar nenek gaul korban iklan, ayo kita berangkat!”tarik nenek Ilay. Dalam perjalanan kedua orang pengawal mereka yang tinggi besar menyampaikan apa saja yang harus mereka lakukan. Keduanya menyimak baik-baik semua petunjuk kedua orang itu.

“Berarti aku pulang sebentar saja menemui Basir dan Isur lalu kita pergi lagi ke tempat wadian hakei yang mereka maksud”kata nenek Ilay. Tambi Antang memandangnya dan berkata, “Aku terserah kau saja, aku akan ikut kemana pun kau pergi, Ilay”sahut tambi Antang. “Kalau begitu aku ikut dia saja, antarkan kami ke rumah si Ilay saja ya…”pinta tambi Antang. Kedua pengawal gaib mereka hanya mengangguk.

*****

Setibanya di rumah nenek Ilay, segera masuk kamar dan mengambil kotak kuningan yang berisi kelima cupu minyak kuyang itu dan membungkusnya. Ia memasukkan kedalam tasnya, “Kita kerumah Isur sebentar lalu kita pergi ya, biar Isur saja nanti yang menyampaikan pesanku pada Basir.” Lagi-lagi tambi Antang mengangguk, ia menyeringai saja.

“Singkirkan wajah konyolmu itu, Adang. Aku sedang malas meladenimu.”ketusnya. Tambi Antang hanya tergelak, aku hanya mau berkata, “Tasmu itu kurang praktis. Coba pakai ransel saja.”usulnya menggoda nenek Ilay. “Aku akan memakai ransel jika kau mau pakai celana jeans berdampingan denganku sepanjang perjalanan, bagaimana?”tanya nenek Ilay menantang. Tambi Antang terdiam sejenak, tak lama ia mulai terkikik geli.

Tambi Antang tertawa terpingkal-pingkal, nenek Ilay mengernyit alisnya menatap tambi Antang yang masih tergelak menuruni tangga, “Aku…hahahah membayangkan kau hahahaha.. pakai baju tanktop dan rok mini disampingku hoahahahaha… dengan baju berwarna merah muda, hahahahahaha…”gelaknya. “Otakmu itu benar-benar rusak”, omel nenek Ilay lebih dahulu melangkah ketempat Isur.

Begitu nenek Ilay dipersilakan masuk bersama tambi Antang, nenek Ilay menjelaskan panjang lebar rencana dan petunjuknya. Tak lama terdengar bunyi derum sepeda motor memasuki pekarangan rumah Isur, ada suara seorang memberi salam di depan pintu, istri Isur segera membuka pintu. “Wah, ramai sekali. Maaf aku terlambat datang, hampir saja aku berselisih jalan dengan si Ramli. Kebetulan aku mau ke tempat pak RT”sapanya.

Setelah mendengarkan dengan seksama, Basir manggut-manggut, lalu bangkit. “Mau kemana kau, Basir?”tanya Isur hendak mencegahnya.”Aku harus mengumpulkan orang-orang dan pemuda-pemuda untuk perundingan selanjutnya, ada baiknya mereka mendengar langsung sebelum Mak dan tambi pergi…”katanya diambang pintu.

Ada delapan orang lelaki dewasa dan empat pemuda desa berkumpul diteras rumah Isur malam itu. Mereka baru saja melepas kepergian kedua nenek itu. Mereka sedang membagi-bagi tugas siapa saja yang mencari daun sawan, mencari akar walayen, menyiapkan bawang, tali ijuk, sapu iju, wancuh  dan daun jerangau (acorus calamus) yang juga biasa disebut deringu atau kaliraga.

“Biar aku dan Isur serta Ramli yang mencari akar walayen. Kalau yang lainnya masih terdapat didalam kampung jadi lebih mudah untuk didapat”kata Basir. “Pasti seru sekali!! Akan terjadi pengusiran besar-besaran besok malam terhadap kuyang-kuyang itu.”seru pemuda tanggung yang berdiri di pekarangan bersama Ramli. (bersambung)

Leave a comment